Family,  friendship,  Lifestyle,  moms,  parenting,  relationship,  Social,  tips & trick

Cara Bicara Orangtua dengan Anak Remaja di Rumah melalui Hal Sederhana

“cica… kalo abis cuci kaki dilap dulu nak biar kering, kalo licin nanti kpleset!” Pesan ini berulang-ulang saya ucapkan supaya Nafeesa terbiasa melakukan hal baik sedini mungkin. Pastinya gak cukup sekali, seringnya dia lupa, abis cuci kaki langsung lari, atau malah main air dan becek-becekan di rumah.

Hal sederhana seperti mencuci dan melap kaki aja bisa jadi hal menyebalkan jika tidak dibiasakan sejak kecil dan malah terbawa hingga dewasa. Setiap anak memiliki porsi pembelajaran sesuai dengan tahapan usianya. Contoh hal sederhana lain yang sering dianggap sepele, menyimpan handuk bekas mandi diatas tempat tidur, membiarkan pakaian kotor menggangtung di kamar mandi, atau membiarkan kaos kaki bekas pakai tergeletak di lantai.

Lalu bagaimana dengan hal yang lebih rumit seperti kedisiplinan, etika, Pendidikan agama dan aspek hidup lainnya. Mereka semua gak bisa terbentuk dalam sekejap. Bahkan perilaku seorang anak juga dipengaruhi oleh orangtuanya. Jadi, saat saya menjadi seorang ibu, saya berpikir banyak dong. Duh, saya aja masih begini, kalo ngga bisa upgrade diri, anak ku nanti belajar dari siapa?

Saya ingat betul nasehat almarhum Bapak yang mengatakan sesuatu hal baik memang harus dipaksa untuk menjadi biasa. Termasuk soal kedisiplinan, tatakrama dan aspek lainnya. Bahkan, saya pernah mengikuti kelas Parenting yang diselenggarakan oleh salah satu sekolah Montessori, bukan anak yang belajar dari orangtua, sejatinya kitalah sebagai orangtua yang harus banyak belajar dari anak. Mulai dari belajar bicara jujur, belajar sabar dan mengendalikan diri, belajar disiplin dan menjaga komitmen yang sudah dibuat.

Percaya ngga sih, saat anak memasuki usia remaja ada perilaku yang berubah dari mereka. Setiap orangtua pasti tau ya, sebab pernah muda. Apalagi tantangan bagi orangtua Millenial saat ini, bersaing dengan gadget. Anak-anak cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya berselancar di internet. Jika kita tidak bisa menentukan pola asuh didalam keluarga, akan sangat repot kedepannya. Seperti yang disampaikan oleh Psikolog Keluarga, Bunda Elly Risman, lebih baik kita berlelah hati mendidik anak sejak kecil daripada harus menanggung beban saat mereka tumbuh remaja dan dewasa.

Tantangan dan hambatan lain kerap kali muncul pada beberapa keluarga. Hambatan tersebut cenderung mengubah perilaku anak saat remaja misalnya ketidak konsistenan orangtua dalam menerapkan aturan di rumah yang berujung pada anak menolak dan bertingkah semaunya.

Hambatan lain terjadi akibat kurangnya edukasi orangtua tentang anak remaja. Kita pasti pernah mudah tapi masa muda setiap generasi akan berbeda. Dulu, saya masih bisa duduk bersama orangtua ba’da Isya untuk mendengarkan nasehatnya setiap malam. Anak Sekarang belum tentu betah tapi bukan berarti membangkang. Orangtua hanya butuh cara lain yang disukai remaja.

Berikutnya, kita pasti sering mendengar istilah anak broken home. Ada banyak faktor penyebabnya, bisa karena perceraian orangtua, perubahan status ekonomi atau kehilangan anggota keluarga karena sakit atau meninggal.

Lalu apa yang dibutuhkan supaya orangtua dan remaja tetap terjaga bondingnya?

Masih ingat seperti apa semangatnya kita belajar saat anak pertama lahir? Mulai dari cara menggendong, menu MPASI hingga tipe pola pengasuhan semuanya dipelajari. Tapi, apakah hal tersebut terus berlanjut saat anak tumbuh semakin besar dan beranjak remaja? Seringnya kita lupa dan terlalu percaya bahwa setelah anak besar atau katakanlah remaja, sudah berkurang rasa khawatir kita pada mereka. Alasannya, mereka sudah bisa makan sendiri, bisa berangkat sekolah sendiri dan lainnya. Yakin cuma itu? Lalu gimana dengan pergaulan mereka, bukankah lebih mengkhawatirkan?

Menurut Psikolog Roslina Verauli pada salah satu Talkshow yang saya ikuti, anak akan tumbuh berdasarkan keyakinan orangtuanya. Mau anak sukses? Katakan dan yakini dengan sungguh-sungguh “anak saya akan sukses”. Tapi, tak cukup sampai disitu, sebagai orangtua kita perlu terus mendampingi tumbuh kembang anak. Bonding orangtua dan anak remaja akan terus terjalin hingga remaja bahkan dewasa jika komunikasi dan kedetakan tersebut terus dijaga dan dipupuk setiap hari, setiap waktu.

Caranya seperti apa? Orangtua menunjukan rasa kasih sayang dan cinta terhadap anak-anak. Tidak berekspektasi terlalu tinggi sehingga membebani anak, hidupkan semangat anak-anak secara realistis. Buat aturan dan terapkan konsekuensi untuk seluruh anggota keluarga, baik itu orangtua maupun anak-anak. Dan, sesuai ajaran agama Islam, orangtua adalah panutan dimana kita harus membenahi diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak-anak.

Maria Montessori mengatakan, rendahkan hati saat melayani anak-anak. Pelankan nada suara kita saat memanggil namanya, biasakan mendengar sebelum berkomentar, tidak menghakimi dan selalu berikan ruang bagi anak-anak untuk membentuk karakter yang ia bawa sejak lahir.

Rumah gak cuma soal tempat tinggal, tapi ada rasa nyaman dan terlindungi didalamnya bersama orang-orang yang mengasihi. Rumah menjadi tempat pertama anak belajar bertenggang rasa dan bertanggung jawab dan orangtua adalah guru pertama yang mendidik anak-anak. Oleh sebab itu, selain adanya kasih sayang dan perhatian, di dalam lingkungan rumah juga perlu ada peraturan sebagai media pembelajaran anak sebelum terjun dalam masyarakat luas.

Sederhananya, setiap anak butuh kehadiran orangtua baik secara fisik maupun psikis. Perilaku anak terbentuk sejak ia bayi, lanjut tumbuh menjadi anak-anak dan remaja. Umumnya, anak remaja akan sulit dibentuk karakternya sehingga lebih baik membentuk karakter anak sejak kecil.

Remaja akan mengalami perubahan secara fisik. Orangtua wajib memberikan edukasi tentang perubahan yang mereka alami, soal menstruasi, tumbuhnya payudara, jakun, bulu halus dan lainnya, termasuk area yang tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain.

Remaja juga akan mengalami perubahan secara psikis. Meski mereka sudah mulai mandiri tapi peranan orangtua tetaplah dibutuhkan. Perhatian, kasih sayang, waktu berkumpul bersama, sharing dan hal sederhana lain yang sering dilakukan saat ia kecil, tetaplah lakukan. Jangan merubah bentuk perhatian kepada mereka sedikit pun, hanya caranya saja yang berbeda. Dulu mereka mungkin akan senang dicium didepan umum, saat remaja jangan harap mereka akan tetap mau dicium orangtua didepan teman-temannya.

Setelah kehadiran orangtua dan perhatiannya terpenuhi, ajarkan anak untuk mengenal tugas dan tanggung jawab mulai dari rumah. Ia harus tau aturan dan konsekuensi yang diterima jika lalai atau tidak melalukannya dengan benar. Bagi remaja perempuan, orangtua bisa melibatkannya saat memasak, membuat kue, menyulam, olahraga, merawat diri dan membereskan pekerjaan rumah lainnya. Untuk remaja laki-laki, orangtua tetap bisa melibatkannya untuk melakukan pekerjaan rumah, kegiatan sosial dan lainnya. Ia harus tau, kelak ia akan menjadi wanita atau laki-laki dewasa sama seperti orangtuanya. Mungkin saat kuliah harus kost sendiri atau berkarir di negeri orang. Jika tidak bisa melakukan pekerjaan rumah yang sederhana, bagaimana nanti urusannya?

Saya sempat membaca informasi dasar dari website skata.info tentang tahapan penerapan tanggung jawab di rumah antara anak dan orangtua, yaitu:

  1. Saya pribadi sering melibatkan anak saat melakukan aktivitas sehari-hari di rumah. Misalnya, kenapa harus menyapu rumah, mulai darimana hingga cara menyapu yang benar itu seperti apa.
  2. Tentu saja anak akan merasa senang jika terlibat langsung atau melakukan langsung aktivitas tersebut daripada hanya melihat dan mendengarkan penjelasan. Contoh sederhana soal mencuci sepatu sekolah. Ajarkan ia bertanggung jawab dan mencintai barang miliknya sendiri. Beri tau kenapa sepatu harus dicuci dan mencuci sepatu yang benar itu seperti apa. Misalnya sepatu yang sudah dicuci harus bersih, tanpa noda dan tanpa bau diakhiri dengan menjemurnya.
  3. Buat kesepakatan, jangan buat hukuman. Anak harus tau dampak apa yang akan terjadi jika tugas tersebut tidak dikerjakan dengan baik. Misalnya soal mencuci sepatu tadi. Kalau tidak dicuci sendiri, kita gak perlu mencucinya, supaya anak tau konsekuensinya. Hari Senin dia akan berangkat sekolah dengan sepatu kotor sebab tidak ia cuci.
  4. Pelaksanaan dan pantauan. Nah, menurut skata.info, saat melakukan pekerjaan rumah, orangtua berperan untuk memantau dan membuat indicator keberhasilan. Jika cara mencuci sepatunya tidak sesuai dengan cara kita, ya sudah tidak apa-apa, tak perlu interupsi, apalagi mencuci ulang. Sambil diberi tau pelan-pelan mereka akan tau dan menemukan caranya sendiri.

Gimana Moms, punya pengalaman serupa kah di rumah bersama anak-anak? Boleh share juga yuk, gimana cara Mommies membentuk peraturan di rumah untuk anak remaja. Siapa tau bisa menginspirasi ibu lainnya. Semoga bermanfaat.

22 Comments

0
Your Cart is empty!

It looks like you haven't added any items to your cart yet.

Browse Products