STOP !!! TANYA KAPAN WISUDA
Hari itu matahari cukup terik bahkan cenderung panas namun tiba-tiba hujan lebat disertai petir dengan suara gemuruh yang kencang seakan memecah gendang telinga, kira-kira seperti itulah yang saya rasakan ketika ditanya “kapan wisuda dan kapan menikah?”. Keduanya pernah aku alami dan aku hadapi dalam kondisi hati dan mental yang berbeda. Pertanyaan kapan ini sebenarnya pertanyaan sepele dan mungkin saja orang yang bertanya pun hanya sekedar basa-basi atau salah satu bentuk upaya untuk membuka obrolan saja namun jika si “kapan” ini ditanyakan berulang-ulang dan dalam kondisi sedang badmood after PMS maka bisa berujung pada perang dunia ketiga, hehehe…
Saat saya menginjak usia 20 tahun, sering sekali mood ini berubah jadi tidak karuan jika ada pertanyaan “kapan wisuda” menghampiri. Kebetulan saya kuliah di luar kota, jarak dari rumah menuju kampus bisa dibilang cukup jauh, memakan waktu sekitar 3 jam dalam sekali perjalanan. Setelah dipertimbangkan, akhirnya saya memutuskan untuk kos dekat dengan kampus dan mengambil sidejob setelah selesai kelas. Selain lebih hemat dari segi finansial, juga efektif dari segi waktu.
Setiap hari menikmati kesibukan di kampus dengan kelas yang cukup padat, tugas yang tiada henti juga kegiatan lainnya yang wajib diikuti oleh mahasiswa seperti KKN misalnya. Semua rintangan dihadapi dengan gigih tanpa putus asa dan aku sangat menikmati setiap prosesnya. Namun pada satu tahun terakhir masa kuliah, disaat tugas semakin banyak, penelitian dan persiapan menuju skripsi menjadi satu moment yang sangat menguras hati. Bukan karena tugas dan yang lainnya melainkan karena pertanyaan “kapan wisuda” ini.
Karena banyak kesibukan setiap harinya, seringkali kerinduan bertemu dengan orang tua dan saudara hanya terbalas paling tidak sebulan sekali, namun sering pula pertemuan itu berubah menjadi sesuatu yang sangat ingin aku hindari. Mengapa tidak ingin dihindari, jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena banyaknya pertanyaan kapan wisuda yang sering kali dilontarkan kerabat atau tetangga. Bahkan orang tua sempat termakan omongan orang yang gembar-gembor tentang anaknya yang sudah lulus kuliah dan bekerja di kota. Kadang rasa ingin berkunjung ke rumah kerabat jadi hilang jika ingat pertanyaan itu. Bagaimana hati ini tidak membeku dengan pertanyaan tersebut, sementara semester 4 pun belum dan sedang dijalani. Mereka sering membandingkan anaknya atau saudaranya atau bahkan orang yang tidak mereka kenal, ko si A kuliahnya cepet, kok si B tau-tau sudah wisuda, kok si C udah kerja aja, kok kamu lama ya? Terang saja, setiap universitas ‘kan sudah memiliki jadwal yang pasti mengenai kapan ada ujian semester, kapan ada jadwal wisuda dan lain sebagainya. Aku yang kuliah di universitas swasta selalu dibandingkan dengan yang lain yang kuliah di universitas negeri misalnya, terutama persoalan waktu wisuda dan dikaitkan dengan biaya.
Awalnya ku tanggapi dengan perasaan biasa saja setiap kali ada yang bertanya kapan wisuda, namun kemudian aku menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung bahkan ketika orang tua ku bertanya bagaimana kuliah ku, aku merasa secara tidak langsung mereka menodongku dengan pertanyaan kapan lulus dan wisuda. Jika sudah begitu, obrolan antara aku dan orang tua berujung pada perasaan tidak nyaman. Padahal jelas aku yang salah, aku yang terlalu sensitif dan terbawa perasaan padahal orang tua dan keluarga yang bertanya justru menunjukan rasa perhatian mereka kepadaku.
Yang mengesalkan adalah ketika orang lain -bukan keluarga- yang setiap kali pulang kampung bertanya kapan wisuda dan kapan bekerja. Padahal mereka tidak tau seperti apa perjuanganku untuk mendapatkan nilai tinggi, mengikuti kelas tingkat atas, namun memang soal wisuda ini tidak bisa ku percepat karena di universitas ku tidak ada Semester Pendek yang ada hanya Semester Perbaikan sehingga tidak bisa meringkas waktu kuliah agar cepat lulus. Sebagai titik akumulasi kemarahan ku karena pertanyaan tersebut membuatku akhirnya malas untuk sering pulang ke rumah. Sampai pada suatu hari secara tidak sengaja aku bertemu dengan teman lamaku yang sudah berumah tangga namun masih kuliah, dia sempat cuti kuliah karena hamil anak pertamanya dan dia bercerita pengalamannya kuliah kemudian cuti dan melanjutkan kuliah kembali dengan teman-teman baru yang usianya jauh dibawah dia. Sejak saat itu, aku merubah pola pikir tentang kuliah dan kejar target wisuda. Aku sadar bahwa kuliah itu bukan sekedar lulus dan mendapat gelar, justru prosesnya lah yang penting bagaimana kita menggali ilmu sedalam-dalamnya melalui diskusi kelompok atau diskusi dengan dosen di universitas karena masa tersebut tidak akan terulang kembali. Pertanyaan wisuda ini kemudian mengantarkan ku menjadi lebih semangat untuk menyelesaikan skripsi dan masuk pada group pertama wisuda.
Hal-hal yang berkaitan dengan waktu seringkali dianggap target untuk berlomba siapa yang tercepat, wisuda, menikah, memiliki momongan dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat privasi namun akan banyak orang yang merasa ingin mengomentari dengan pertanyaan-pertanyaan seperti diatas. Setelah wisuda ini, aku yakin akan ada lagi orang yang bertanya “kapan nikah”, tipe yang seperti itu tidak akan pernah habis namun yang tidak kalah penting yaitu semoga kita tidak menjadi bagian dari kelompok orang yang senang bertanya “kapan” dan tidak termasuk orang yang menjadi alasan bagi orang lain berputus asa, asosial dan menghindari bertemu dengan keluarganya.